Sedangkanpergerakan 52 mingguannya di kisaran Rp 13.484 per USD. nance mencatat Rupiah menguat 47 poin atau 0,35 persen ke Rp 13.432 per USD. Dengan pergerakan harian di kisaran Rp 13.425-Rp 13.484 per USD. Sedangkan kurs tengah Bank Indonesia mencatat Rupiah di level Rp 13.460 per USD. Merekaingin mengetahui iklim investasi dan bidang usaha di Jateng yang menarik dikembangkan. Bank-bank di Jepang akan memfasilitasi para pengusahanya yang ingin menanamkan modal di provinsi ini. Delegasi terdiri atas Manajer Senior The Senshu Ikeda Bank, Yasuhito Imiya, dan Asisten Manajer, Yoshiharu Inui. Bismillah Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Ijin bertanya ustadz, saat ini kami menggunakan salah satu bank syariah yaitu BSI dengan akad wadiah. Pada aplikasi mobile BSI ada fitur e-mas. Bagaimana hukumnya jika menggunakan fitur tersebut? Jazakallah khoiran. Live Interaktif Ekonomi Islam: Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Lihat BatasWaktu Sholat Subuh Menurut Ustadz Abdul Somad, Bangun Jam 6 Pagi Masih Bisa? Sementara kue bank syariah di Indonesia kecil, 5-6 %. Analis Rekomendasi Saham Bank hingga Properti. DalamIslam akad mudharabah untuk produk deposito dibolehkan sebab termasuk jenis investasi yang diperbolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib).Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus. BBBgj6. Sudah diketahui bahwa saat ini ada begitu banyak bank yang bisa dijadikan pilihan dalam menabung. Akan tetapi memilih bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi bisa menjadi prioritas. Karena sudah diketahui dalam hukum agama islam, penggunaan uang itu memiliki aturannya tersendiri. Jadi tidak bisa memilih asal terlebih masalah uang sangatlah sensitif. Memang bagi sebagian orang menganggap hal ini adalah masalah sepele dan tidak perlu dipikirkan. Padahal sebenarnya masalah bank ini juga menjadi sesuatu yang serius dan perlu dipikirkan. Terlebih bagi Anda yang lebih gemar menyimpan uang di bank dari pada disimpan secara manual. Jika kurangnya ilmu pastinya akan sangat menyayangkan akan penyimpanan uang yang ternyata termasuk riba’ tersebut. Mengenal Bank Syariah, Pengertian, Tujuan dan Fungsi Agar tidak salah dalam penentuan pemilihan, akan lebih baik jika memilih bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi. Karena itu merupakan rekomendasi yang diberikan dari ahlinya. Akan tetapi sebelum lebih jauh membahas mengenai rekomendasi yang diberikan, pahami dulu hal dasar mengenai pengertian, tujuan dan fungsinya. Jadi Anda bukan menjadi golongan orang yang tidak tau apapun mengenai bank syari'ah. Sehingga pada saat mendengarkan rekomendasi yang diberikan oleh ahlinya bisa menerima dengan baik. Tidak sedikit pula orang yang merasa dirinya paling hebat dan merasa paling benar. Dengan sifat tersebut kemudian menjadi diri yang keras dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. 1. Pengertian Jika Anda salah satu orang yang nantinya akan mendengarkan bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi. Maka mulailah dari memahami pengertiannya terlebih dahulu. Pengertian dari bank syariah adalah sebuah bank yang didirikan dengan setiap aktivitas yang dijalaninya dalam melakukan usaha semuanya diatur berdasarkan prinsip dan hukum islam. Semua aturan yang ditetapkan itu berdasarkan dari fatma yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia MUI. Dengan begitu segala prinsip yang diambil itu berdasarkan dari ahlinya terlebih dengan kaitan aktivitas keagamaan. Bagi yang tidak mengetahuinya, bank syariah juga memiliki logo layaknya bank Indonesia. Jika pada bank Indonesia berlogo BI, maka pada bank syariah memiliki logo IB atau Islamic banking. 2. Tujuan & Fungsinya Selain memiliki pengertian, bank syariah juga memiliki tujuan juga fungsinya. Jadi pada saat nantinya Anda akan mendengarkan bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi, sebaiknya hal ini juga wajib dimengerti. Dengan pemahaman yang sesuai, maka ketika mendengarkan nasihat atau rekomendasi yang diberikan mampu mencernanya dengan baik. Sehingga tidak salah dalam pengambilan langkah berikutnya. Di dirikannya bank syariah ini memiliki tujuan untuk bisa menjalankan lembaga keuangan, sehingga mampu membantu pelaksanaan pembangunan dan juga menstabilkan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut juga sejalan dengan fungsi yang dimiliki oleh bank syariah yakni mencakup beberapa hal. Menurut versi OJK fungsi dari bank syariah adalah untuk menghimpun dan menyalurkan dana milik rakyat atau masyarakat khususnya umat muslim. Oleh karena itu akan lebih baik jika memilih bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi. Karena memang fungsi yang diberikan oleh bank syariah sangatlah beragam dan memiliki fungsi yang baik. Seperti berfungsi untuk menjalankan perekonomian sosial dalam bentuk baitul mal. Ini berupa dana yang diambil dari zakat, infak, sedekah dan berbagai dana sosial lainnya. Selain itu fungsi lain adanya bank syariah adalah untuk membantu menghimpun berbagai dana sosial yang masuk. Kemudian setelah itu disalurkan pada orang-orang yang membutuhkan. Bank Syariah Rekomendasi Ustadz Erwandi Berbicara soal bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi, ini akan menjadi pembahasan yang panjang. Karena pada intinya ustad Erwandi memiliki pandangannya tersendiri mengenai bank syariah. Bagi beliau, tidak semua bank yang berlabelkan syariah itu menjalankan hukum syariah yang sebenarnya. Karena ada beberapa sistem perbankan yang tetap menggunakan cara yang tidak sesuai dengan syariah islam. Oleh sebab itu maka bagi Anda yang ingin menggunakan bank syariah, sebaiknya sangat memperhatikan setiap detail hukum yang ditetapkan oleh bank tersebut. Jangan sampai salah pilih dalam menentukan bank syariah yang diinginkan. Bank yang dipercaya pasti menganut hukum syariah setidaknya memiliki prinsip atau akad murabaha. Prinsip tersebut hanya dimiliki oleh bank yang menganut hukum syariah. Oleh karena itu bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi adalah bank yang memiliki prinsipnya. MENCARI SOLUSI BANK SYARIAHOlehUstadz Muhammad Arifin Badri MASegala puji hanya milik Allah Ta’ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , keluarga, dan seluruh sahabatnya. Islam –segala puji hanya milik Allah– bersifat universal, mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, sehingga syariat Islam benar-benar seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’alaاَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗPada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu”. [al-Mâ`idah/53]Al-hamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat Islam, sehingga kini, kita mulai mendengar berbagai seruan untuk menerapkan syariat ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. Termasuk wujud dari kesadaran ini, yakni berdirinya berbagai badan keuangan perbankan yang mengklaim dirinya berazaskan syariat. Fenomena ini patut mendapatkan perhatian, partisipasi dan dukungan dari kita, agar laju perkembangan dan langkahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam. Dan pada kesempatan ini, saya ingin sedikit berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang menurut hemat saya perlu yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah Pertama Peranan Ganda Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling menjelaskan permasalahan ini, cermatilah skema 1. Skema Peran Perbankan SyariahBank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil keuntungan, sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah pemodal ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik an-Nawawi berkata, “Hukum kedua tidak dibenarkan bagi pelaku usaha mudharib untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah pertama dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil”.[1]Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . . Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya”. [2]Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara calo. Para ulama’ menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[3]Tinjauan Kedua Bank Tidak Memiliki Usaha keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah.[4]Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di Ketiga Bank Tidak Siap Menanggung kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias ulama’ dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari’ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil.[5] Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah satu dari dua hal berikutAkad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp. operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari lain dari produk perbankan syariat ialah bai’ al-Murabahah. Bentuknya kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati.[6]Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ. Dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ia menuturkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya” Ibnu Abbas berkata Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan. Muttafaqun alaih.Pemahaman Ibnu Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikutعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لَا تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ رواه أبو داود والحاكم Dari sahabat Ibnu Umar, ia mengisahkan “Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya guna menerima tawaran dari orang tersebut. Tiba-tiba, ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata Janganlah engkau menjual minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing’.” [HR Abu Dawud dan al-Hakim].[7]Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas t ketika muridnya, yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan iniقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ كَيْفَ ذَاكَ قَالَ ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ Saya bertanya kepada Ibnu Abbas “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab “Itu, karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda”. [8]Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu Abbas di atas sebagaimana berikut “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja”.[9]Tinjauan Keempat Semua Nasabah Mendapatkan Bagi syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/ ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia BI dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.[10]Tinjauan Kelima Metode Bagi Hasil yang kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di IndonesiaBagi hasil nasabah = dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah 1000 100E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana dilihat dengan jelas,bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema di atas adalah total modal dana nasabah. Adapun dalam akad mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh karenanya akad ini dinamakan bagi Nawawi al-Bantaani berkata, “Rukun mudharabah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, di antaranya, keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya, dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam prosentase.” [11]Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syar’i sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabahBagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. dengan perjanjian 50 % untuk pemodal dan 50 % untuk pelaku usaha bank, dan total uang yang dikelola oleh bank sejumlah 10 miliar. Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1 % dari keseluruhan dana yang dikelola oleh akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar 1 miliar. Operator bank -setelah melalui perhitungan yang berbelit-belit pula- menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp. adalah Rp 11, kita menggunakan metode perbankan syariat, maka hasilnya adalah sebagai berikut x 11,61 x 50 = Rp. 1000 100Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut x 50 x 1 = 100 100Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak mendapatkan bagi hasil sebesar Rp Metode pembagian yang diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariat di IndonesiaE = total dana nasabah – Giro Wajib Minimum x Total pendapatan x 1000 Total Investasi Total dana nasabahMetode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan bahwa perbankan syariat yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syari’ PERBANKANUntuk menyiasati beberapa kritik di atas, maka berikut beberapa usulan yang mungkin dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan sistem perbankan yang Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan, dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari over likuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah, kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan metode yang simpel dan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing Perbankan Terjun Langsung ke Sektor telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan operasional, suatu bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, agar bank terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki berbagai unit usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata, tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, keuntungan yang didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat cara ini, keberadaan perbankan syariah akan benar-benar menghidupkan perekonomian umat Islam. Karena dengan cara ini, perbankan pasti membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami akan menjadi produsen sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di konsekuensi dari hal ini, tentu kedua belah pihak yaitu nasabah yang menginvestasikan dananya ke proyek-proyek perbankan dan juga pihak operator bank siap untuk menanggung segala risiko dunia usaha. Pemodal menanggung kerugian dalam bentuk materi, dan pelaku usaha menanggung kerugian Perbankan Menerapkan MudharabahPada saat sekarang ini, amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan yang sering terjadi di masyarakat kita ialah sebaliknya; pengkhianatan dan kedustaan. Oleh karena itu, sangat sulit bagi kita, terlebih lagi bagi suatu badan usaha untuk menerapkan sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk mensiasati keadaan yang memilukan ini, saya mengusulkan agar perbankan syari’at yang ada menerapkan mudharabah sepihak. Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi perbankan tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan cara ini, dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari’ah dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan perbankan terhindar dari berbagai kejahatan pihak-pihak yang tidak memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah Ta’ akhirnya, apa yang kami paparkan di atas adalah semata-mata sebatas ilmu yang kami miliki. Sehingga bila didapatkan kebenaran, maka itu adalah murni berasal dari taufik dan inayah Allah Ta’ala. Sebaliknya, bila terdapat kesalahan, maka itu bersumber dari setan dan kebodohan kita mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , sehingga dapat meninggalkan riba beserta seluruh piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan untuk mendapatkan rizki yang a’lam bish-shawab.Penulis adalah Kandidat Doktor Fiqih, Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah – Saudi Arabia[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]_______Footnote[1] Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi 5/132. Silakan baca juga at-Tahzib, Imam al-Baghawi 4/392, Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini 2/314 dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hlm. 202.[2] Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156.[3] Lihat al-Aziz, ar-Rafi’i 6/27-28, Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi 5/132, al-Mughni, Ibnu Qudamah 7/158, Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini 2/314 dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil- Islâmi, Dr. Saad bin Gharir as-Silmy hlm. 202.[4] Metode ini membuat kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba mendirikan perbankan syariah. Bahkan beberapa negara kafir tersebut –misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah perbankan syariah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah Modal melansir pernyataan bapak Muhaimin Iskandar Wakil Ketua DPR RI “Tidak ada istilah ekonomi syariah dan ekonomi non syari’ah, karena itu hanya soal penamaan saja”. Lihat Majalah Modal, Edisi 18/II April 2004, hlm. 19.[5] Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 7/145, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 38/64.[6] Bank Syariah, dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’i Antonio, hlm. 171.[7] Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqîq. Lihat Nasbu ar-Rayah 4/43 dan at-Tahqîq 2/181.[8] Riwayat Bukhari dan Muslim.[9] Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349.[10] Majalah Modal, Edisi 19/II-MEI 2004, hlm. 25.[11] Nihayatu az-Zain, Muhammad Nawawi al-Jawi, hlm. 254.

bank syariah rekomendasi ustadz erwandi